Senin, 29 Oktober 2012

My 4th book: "Padang Oase" - Sebuah Antologi Puisi Tujuh Penyair Muda


Judul : Padang Oase - Sebuah Antologi Puisi Tujuh Penyair Muda
Penulis : Lia Octavia, Jun An Nizami, Divin Nahb, Nia Robie', Dani Ardiansyah, Emir Fanha, Arrizki Abidin
Penerbit : Halaman Moeka Publishing
Cetakan : Pertama, 2009




Puisi yang Menyejukkan

oleh Asep Sambodja


Penyair-penyair muda akan selalu lahir, tumbuh, dan berkembang. Setiap zaman akan melahirkan penyair-penyairnya sendiri. Sejak Muhammad Yamin menerbitkan buku kumpulan puisi Tanah Air pada 1922, yang ketebalannya hanya 16 halaman, penyair-penyair Indonesia semakin hari semakin intens menerbitkan buku puisi mereka. Bersamaan dengan itu, segala macam eksperimen terus dilakukan oleh penyair muda atau penyair yang baru untuk mendapatkan writing style-nya sendiri. Dan itu memerlukan perjuangan yang maha hebat.
Ada yang mencoba membebaskan kata dari beban makna sebagaimana yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri pada 1973, yang mendobrak konsep kesenian Chairil Anwar yang justru memberi makna pada setiap kata. Keduanya sama-sama mendapat tempat yang terhormat di mata pengamat sastra Dami N. Toda, yang menjuluki Chairil Anwar sebagai sisi mata kanan dan Sutardji Calzoum Bachri sebagai sisi mata kiri dalam konstelasi sastra Indonesia. Baik Chairil Anwar maupun Sutardji Calzoum Bachri memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan puisi di Indonesia.
Selain dari estetikanya, ada sastrawan yang mencoba menerapkan konsep “seni untuk rakyat” dalam berkarya. Artinya, setiap menulis puisi, cerpen, novel, drama, maupun esai, karyanya itu diharapkan memiliki manfaat langsung bagi pembacanya. Para sastrawan dan seniman yang mengusung konsep “seni untuk rakyat” itu menginginkan agar karyanya bisa memberi rasa optimistis bagi pembacanya. Sementara di sisi lain, ada sastrawan yang mengusung konsep “seni untuk seni” dalam berkarya. Mereka yang mengusung konsep ini menganggap kebebasan dalam mencipta adalah segala-galanya, dan tidak harus karyanya itu selalu dipahami oleh masyarakat pembacanya. Kedua konsepsi berkesenian itu hingga sekarang masih tumbuh subur dalam karya-karya sastra Indonesia mutakhir.
Bagaimana dengan penyair-penyair Forum Lingkar Pena (FLP) Jakarta yang memproduksi buku kumpulan puisi Padang Oase ini? Apakah mereka menghadirkan sesuatu yang baru, yang orisinal? Pertanyaan semacam ini sungguh merepotkan, karena di zaman globalisasi ini sulit sekali kita temui sesuatu yang orisinal. Tapi, kalau kita teliti dengan seksama, maka kita akan sampai pada satu asumsi dasar bahwa ternyata orisinalitas itu melekat pada diri penyair itu sendiri. Barangkali bisa dianalogikan dengan sidik jari setiap manusia di dunia ini yang demikian orisinal, khas, unik, dan tidak ada yang sama antara satu dengan lainnya.
Dengan demikian, orisinalitas yang seringkali dituntut atau dibebankan kepada penyair-penyair muda itu barangkali bisa digali atau dieksplorasi dari diri mereka sendiri. Setiap manusia memiliki pikirannya sendiri, perasaan yang unik, pengalaman yang berbeda-beda, imajinasi yang khas, dan sebagainya. Hal inilah yang bisa terbaca dalam puisi-puisi tujuh penyair FLP Jakarta, yakni Emir Fanha, Divin Nahb, Lia Octavia, Nia Robie, Dani Ardiansyah, Jun An Nizami, dan Arrizki Abidin.
Para penyair ini lahir pada 1980-an, yang kalau kita kaitkan dengan konteks keindonesiaan, mereka lahir di saat Indonesia tengah berproses dari negara yang autokrasi menuju negara demokrasi. Ide-ide mereka masih segar, tidak ada kekuatan yang membelenggu pikiran mereka. Suara-suara (messages) yang mereka keluarkan pun diharapkan mampu menggambarkan kehidupan masyarakat pada zamannya. Karena kita tahu bahwa karya sastra, dalam hal ini puisi, merupakan produk penyair yang notabene representasi dari masyarakatnya. Dalam kondisi transisi dari autokrasi ke demokrasi seperti itu, yang tergambar adalah adanya proses tawar-menawar, negosiasi antara individu dengan individu lainnya, kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya, warga negara dengan warga negara lainnya, komunitas budaya dengan komunitas budaya lainnya, lokal dengan global, dan seterusnya. Dapat dikatakan bahwa dalam kondisi seperti itu pula tercermin adanya proses akulturasi atau adaptasi maupun benturan ataupun resistensi dalam kehidupan yang multikultural semacam itu.
Puisi Nia Robie’ yang berjudul “Berlalu Melewati Telingamu” memperlihatkan adanya proses negosiasi antara individu dengan orang lain.

Dulu.. kataku kata yang membatu
Engkau genggam dan diselimuti malam
Kini, kataku kata angin...
Yang berlalu melewati telingamu.

Demikian pula dengan puisi Divin Nahb, “Jelma Takdir”, yang menggambarkan hubungan laki-laki dengan perempuan dengan menggunakan simbol-simbol klasik dan purba. Berikut saya kutip bagian pertama dari puisinya tersebut.

/1/
Tubuh di hadapan hijaunya nuansa Tuhan dalam dunia dalam besarnya kanvas terbentang. Ditiupkan eloknya lewat tanganNya dimainkan segala. Biar kuketuk seluruh aromamu meski tak ada lagi puitisasi berirama purba. Meski terjerembab tubuh tanpa gelora, bahkan rasa. Luka menganga pada goa mati berbau nyengat. Rambah dan kecuplah Tuhan, lalu jilati bagi dia kelak beri benih. Kaki kelu dan lebur jadi abu hampa sepanjang hari yang kau telanjangi.

Mengapa Adam renggut kematian Hawa menyoal ingin terlepas dari Hawa lainnya? Bukankah Adam menitikkan luka pada Hawa yang termenung hampa yang nyatanya kaum yang memberikan rahim untuknya? Bukankah pula Adam mematikan Hawa-Hawa dalam jiwanya? Serasa kematian membaluri langit-langit sendu.

Mengapa Hawa letakkan dada dalam peluk Adam di sebuah ruang lain? Bukankah telah Hawa miliki seluruh jasad Adam yang menangis dalam ranjang Tuhan? Bukankah dalam ujung jemari sang Adam ada serbuk kehidupan yang mengucur? Hawa dalam lengking tawa meliuk goda dan menakjubkan dunia Adam.


Saya sangat yakin bahwa puisi Arrizki Abidin yang berjudul “Risauan Setan” dan “Lonte Busuk dan Germo Berekor” juga dimaksudkan sebagai tanggapan atau ekspresi Arrizki Abidin terhadap kehidupan yang tertangkap dalam kacamatanya. Apakah sang penyair berada dalam posisi yang lebih berdaya dibandingkan dengan para pekerja seks komersial—sebagaimana yang tampak dari diksi yang dipilihnya—ataukah ia merasa tak berdaya terhadap fakta yang dilihatnya itu? Ini merupakan satu hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Saya kutip puisi “Lonte Busuk dan Germo Berekor” secara utuh.

Kembang kembali merekah
Mekar
Kelopakku menganga
Dipaksa
Bukan kuminta
Benangsari melabuhkan benih fana

Lebah
Sungkurkan jantanku!
Toh, kau dapat bagian termanis
Dan kau timbun dalam sarangmu
Rayakanlah jatahmu
Jatahku?
Tak perlu cemas, kupuaskan pelangganmu

Larut dalam euforia malam
Pesta mengalun mengisi gejolak baru
Jalangku bius jantanmu
Hingga setubuh
Terbelenggu nafsu tak bermalu

Inilah caraku berdiri
Berpijak pada bumi
Dongkolku cukup dihati
Esok
Lebah menagih lagi
Siapkan aku disajaki benangsari
Duri buntutnya menohok
Lagi...
Lagi dan lagi
Hingga ku lelah dan tak berlari

Ah, nanti malam lagi
Sampai nanti
Terbunuhku mati
Telanjang diri
Dalam dosa tak terampuni


Dalam ketegangan antara satu kaum dengan kaum lainnya dalam arus globalisasi, terkadang muncul ambiguitas dalam diri sendiri. Bahkan jika tidak kuasa mengendalikan diri sendiri, maka langkah terburuk seperti bunuh diri pun menjadi pilihan. Puisi “Topengku Bopeng” karya Emir Fanha menegaskan hal itu. Persoalannya bukan melulu mengenai penetrasi budaya luar terhadap budaya lokal, bukan pula mengenai dominasi budaya Barat terhadap budaya Timur, melainkan hilangnya identitas pribadi dalam hangar-bingar globalisasi.


TOPENGKU BOPENG

Aku lari ke mal
aku cari salon
salon ternyata penuh
aku lari menunduk ke wc
aku terduduk-tergugu di atas closet
menunggu cukup waktu
tuk kembali ke salon
aku berjamur
jamur-jamur subur
pada hitungan umur

"Halo, ada orang di dalam, cepet dong?"
"tak ada," jawabku
"Anda, Saudara, Kamu, siapa lantas?
"tak ada orang, tak ada jiwa."
"lantas?"
"hanya topeng bopeng."
"kamu orang bertopeng-bopeng?"
"hanya topeng bopeng. Jangan melihatku aku mau keluar!"


Aku berlari menghindar matanya
menghindar cermin itu juga
menuju salon.
salon masih penuh.
antri, padat, berjubel.
semua orang memakai keresek hitam di kepala
aku berlari mencari keresek untuk kepalaku
ke supermarket, ke toko apa saja
habis!
aku terbang menuju lantai dasar sambil menutup wajah.
lantai di bawah sana sekilas tampak indah
dan menjanjikan kebebasan.



Puisi-puisi Lia Octavia seperti “Aku Tersenyum”, “Malam Seribu Doa”, dan “Memeluk Bulan” merupakan puisi-puisi yang indah dan enak dinikmati. Lia dan juga Jun An Nizami sudah berdamai dengan kata-kata. Artinya, kata-kata sudah tidak menjadi persoalan bagi dua penyair ini. Kata-kata mengalir dengan leluasa dan mereka tinggal mengontrolnya saja, agar kata-kata yang digunakan tidak mubazir. Tantangan bagi penyair semacam ini adalah bagaimana menghadirkan tema atau persoalan yang lebih merangsang pembacanya untuk merenungkan hidup dan kehidupannya setelah membaca puisi mereka nantinya. Berikut ini saya kutipkan puisi Lia Octavia yang saya maksud.


AKU TERSENYUM

Aku tersenyum pada malam
yang telah membuka jubahnya
dan menelusupkan ribuan bintang
ke dalam selimutku

Aku tersenyum pada kelam
yang hitamnya telah memperbolehkan aku
bersinar dan berpendar

Aku tersenyum pada hujan
yang rindunya telah mempertemukan aku
dengan pelangi

Aku tersenyum pada Cinta
yang memelukku dengan hangat
dan meletakkan aku di sisiMu
jelajahi malam
: bersama…


Sementara puisi Jun An Nizami, “Kampung Unggun” dan “Kabut Tasik” benar-benar memberikan kenikmatan kepada pembacanya tentang kampung yang senantiasa memberikan kerinduan kepada siapa pun. Kekuatan Jun An Nizami sebagai penyair terlihat dalam puisi-puisinya yang mengangkat suasana kehidupan di kampung atau pedesaan (mengangkat persoalan-persoalan rural). Lihatlah bagaimana Jun An Nizami melukiskan secara detail kehidupan di kampungnya dalam puisi “Kabut Tasik”.


Sedinding dingin menganyam hening
saat rindu genap terangkai dan ditawar kepulangan
Membesuk muasal setelah pucuk kenang lama tak dituai

Rindu Ibu merebus ubi
Rindu Ayah dan orang-orangan sawah

Karena tanah gembur ini bukan pengasingan,
tanah yang menyuguh tegalan mawar
dan ladang kacang-kacangan,
sawah dan kolam-kolam ikan

Rupanya menyelinap juga gurau kata-kata,
menjelma canda dari Beranda rumah-rumah Joglo,
melalui laju jendela kendara
yang mengintip para Ibu mengeramasi beras
untuk dipasak jadi Tutug Oncom sore nanti

Juga khusuknya para Bapak
mengasahkan sebilah kujang di rindangnya caping beringin
yang tak terganggu bocah-bocah melenggang riang
mengepung capung atau menghadang lompatan belalang

Maka pulang adalah jawaban yang bukan pelarian
Ketika bosan dimabukkan anggur
hingga menyeduhkan rindu manisnya Bajigur
atau aroma eksotik nasi liwet dan ikan asin

Mungkin
Jikapun langit barat nanti tak lagi menyambut hangat
dan menara-menara menutup sinis jendelanya
Biar saja si gembala yang telah lelah mengembara
hanya akan terusik dengan Kecapi Rincik yang berhenti dipetik
dan syahdunya Suling yang tak lagi nyaring
Maka tetaplah iringi zaman dengan merdunya Jurukawih
menembangkan orkestra alam Pasundan


Puisi Dani Ardiansyah yang berjudul “Nyaris Niskala” sungguh mengejutkan. Kata-kata dalam puisi ini demikian kuat dan terjaga sehingga memunculkan makna yang demikian dalam. Makna yang pekat, barangkali. Tapi, puisi ini sangat berhasil karena penyair benar-benar memikirkan setiap kata yang ditorehkannya.

NYARIS NISKALA

akhirnya matahari menjadi niscaya ketika hangatmu menjelma siasia
mencari ketiakmu dalam setiap lipatan malam yang selalu saja tiada
aku menggapai, meronta, menelisik setiap kali anyir payudara menyapa
dan inilah aku, fragmen nyawa dan nyaris niskala
: sunyi


Dalam kesempatan ini, saya hanya memberi pengantar kepada pembaca untuk memperkenalkan penyair-penyair FLP Jakarta ini. Saya pikir ketujuh penyair FLP ini telah berusaha memberikan yang terbaik pada dunia puisi Indonesia, dan dunia sastra Indonesia pada umumnya. Puisi-puisi yang sengaja saya tampilkan secara utuh di atas merupakan puisi-puisi terbaik mereka. Apa yang mereka suarakan sangat terkait dengan konteks keindonesiaan saat ini. Cukup banyak persoalan yang kita lihat sehari-hari. Namun, ketujuh penyair ini lebih memilih menggunakan suara yang lirih, suara yang menyejukkan pembacanya. Bagaimanapun ini merupakan proses yang harus mereka lalui. Sendiri-sendiri atau bersama-sama. Kalau Padang Oase ini dianggap sebagai terminal terakhir, maka selesailah karier mereka sebagai penyair di dunia puisi Indonesia modern. Sebaliknya, jika Padang Oase ini menjadi tempat peristirahatan sementara, sebagai tangga pencapaian sementara untuk melangkah lebih jauh lagi, bak musafir yang mengembara ke tempat-tempat sunyi dan tersembunyi, maka itulah makna tertinggi dalam penciptaan puisi ini.
Sebagaimana tempat peristirahatan sementara, saya pun tak akan mengakhiri tulisan ini dengan kesimpulan, melainkan dengan membaca sebuah puisi “Unfinished” karya Arrizki Abidin. Selamat menikmati.


UNFINISHED

Tidak ada tutup buku
Tidak ada kenangan terakhir
Tidak ada yang terselesaikan

Tidak tahu siapa yang bahagia
Tidak tahu siapa yang bersedih

Bab terakhir telah sobek
Hilang
Lalu, tangannya menelungkup diatas tangan berpenaku
Dan menggoreskan…
Yang tertinggal dan terlupakan


Citayam, 27 Februari 2009


*) Asep Sambodja adalah dosen Program Studi Indonesia FIB UI Depok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar