Camilla Gibb, The Other Side of The Western Mind
Oleh Lia Octavia
Hari belum menunjukkan pukul 9.30 pagi ketika saya memasuki ruang perpustakaan Depdiknas di bilangan Sudirman, Jakarta Selatan. Tampak pendiri dan teman-teman perwakilan pengurus FLP pusat dan cabang satu demi satu hadir, di antaranya Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, Rahmadiyanti, Denny Prabowo, Koko Nata serta yang lainnya dan rombongan dari Bandung; Irfan Hidayatullah, Femmy Syahrani, Yuni dan Nanik. Fariecha, dari FLP DKI Jakarta, menyambutku dengan senyum lebar di pintu masuk ruang perpustakaan yang nyaman itu. Ah, senang rasanya saya dapat bertemu lagi dengannya. Sayang sekali rekan saya, Nursalam berhalangan hadir karena sakit.
Hari itu, Sabtu, 24 Maret 2007, Kedutaan Besar Kanada di Jakarta bekerjasama dengan Forum Lingkar Pena menyelenggarakan diskusi terbatas dengan penulis Kanada, Camilla Gibb, dalam rangka memperkenalkan novelnya yang terbaru, Sweetness In The Belly, yang berkisah tentang seorang wanita muslim kelahiran Inggris yang bermukim di Harar, Ethiopia.
Diskusi yang dipandu oleh Asma Nadia sebagai moderator dan Dina sebagai MC sekaligus penerjemah, dimulai tepat pukul 10 pagi. Acara berlangsung hangat dan santai diselingi dengan bantuan terjemahan dadakan dari teman-teman dalam bertanya dan berbincang dengan Gibb. Gibb yang ramah dan rendah hati membuat suasana kian akrab.
Camilla Gibb lahir di London, Inggris dan dibesarkan di Toronto, Kanada. Ia telah menelurkan tiga buah novel yaitu Mouthing The Words (1999), The Petty Details of So-and so’s Life (2002) dan yang terbaru Sweetness In The Belly (2005). Selain itu, Gibb juga telah menulis berbagai cerpen, artikel, resensi dan meraih penghargaan dari The City of Toronto Book Award tahun 2000 dan CBC Canadian Literary Award untuk fiksi pendek tahun 2001.
Gibb yang meraih gelar PhD-nya dari Oxford University ini, pernah tinggal dengan keluarga muslim di Ethiophia selama satu setengah tahun, saat ia menyusun penelitiannya di sana demi menyelesaikan thesis PhD-nya.
“Saat itu, saya menulis thesis yang membosankan, kering dan tidak menarik untuk gelar PhD saya dan saya merasa kosong di dalam hati,” ungkapnya. Kemudian Gibb mulai menulis fiksi sambil bekerja di universitas selama tiga tahun hingga buku pertamanya terbit dan beredar di mancanegara. Debutnya sebagai penulis novel dimulai di suatu musim panas tatkala ia menulis sebuah cerpen yang kemudian berkembang menjadi sebuah novel, tinggal di daerah pinggiran di dalam sebuah trailer dengan sebuah keluarga khas Amerika. Ditengah riuh rendah semarak kehidupan keluarga ini, Gibb menyelesaikan buku pertamanya. Di situlah Gibb menemukan dunianya. Pengalaman ditolak oleh berbagai editor yang pernah dialaminya, sama sekali tidak menyurutkan semangat dan langkah Gibb untuk terus menulis. Gibb membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk menyelesaikan novel tersebut dan kemudian ia mengundurkan diri dari pekerjaannya di universitas untuk berkonsentrasi pada profesi barunya; menjadi penulis.
“Saya ingin menjadi seorang penulis sejak berusia enam tahun. Saat itu saya menulis puisi saya yang pertama, tetapi karena stereotype masyarakat pada umumnya tentang masa depan seorang penulis yang identik dengan kemiskinan, dianggap aneh dan tidak menjanjikan masa depan yang cemerlang membuat saya harus melupakan keinginan itu sejenak demi menyelesaikan studi saya. Apalagi saya adalah anggota keluarga pertama yang dapat kuliah hingga di tingkat universitas sehingga seluruh tekanan keluarga bertumpu pada saya,” paparnya.
Sweetness In The Belly ditulisnya sebelum peristiwa 9/11, Gibb yang pernah belajar bahasa Arab dan membaca Al Qur’an selama ia bermukim di Kairo dan Ethiopia, tinggal dengan keluarga muslim selama satu setengah tahun di Kairo, mengaku bukanlah seorang Kristen yang baik, tidak pernah ke gereja dan bahkan Gibb membaca Al Qur’an terlebih dahulu sebelum membaca injil. Gibb menuliskan gambaran kehidupan dan kebudayaan masyarakat muslim di Ethiopia yang ramah tamah, sopan, rendah hati. Sesama manusia yang juga memiliki perasaan, hati dan rasa yang sama untuk dihargai oleh orang lain. Bahwa Islam bukanlah identik dengan kekerasan seperti yang menjadi stereotype di dunia barat. Menurutnya, dunia perlu mengetahui yang sebenarnya tentang Islam, bukan rekayasa dan propaganda media barat yang berlebih-lebihan yang dibuat untuk kepentingan golongan tertentu.
Lebih lanjut, menurut Gibb, bila kita melihat segala sesuatunya dengan pikiran dan mata yang terbuka, maka kita akan melihat kenyataan yang sebenarnya. Novel ini mendapatkan reaksi positif dari teman-temannya yang kebanyakan muslim, Gibb menulis sesuatu yang berbeda, lain daripada yang lain, langsung pada sumbernya dan tentu saja berpikir beda. Karena banyak pembaca di belahan barat yang haus akan mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, tidak dimanipulasi oleh pers Amerika. Mereka berhak mendapatkan bacaan yang “berisi”. Menuturkan, tidak menggurui.
Semua tulisan-tulisannya umumnya mengenai kemanusiaan, rasa kebersamaan, empati dan toleransi. Bahwa yang terpenting dari hidup adalah bagaimana perjuangan seorang manusia untuk menjadi orang yang baik. Rasa terima kasih yang tulus juga disampaikan kepadanya dari umat muslim Toronto yang multikultural atas tulisannya yang memaparkan sisi dari kehidupan umat muslim yang berbeda dari pandangan barat.
Walaupun novel ini sempat mengejutkan masyarakat barat pada umumnya, tetapi Gibb telah merencanakan untuk pembuatan novel selanjutnya mengenai hubungan antara umat muslim dan non muslim.
Gibb menulis dari hati, mengungkap benang merah yang sama dari beragam kebudayaan di dunia, bahwa cinta dan kebahagiaan, itulah yang menyatukan kita semua.
Jakarta, 26 Maret 2007
Teruntuk sahabat-sahabat FLP pada umumnya dan FLP DKI Jakarta pada khususnya
“Tetap semangat dalam berjuang dan berdakwah…”
Senin, 29 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar