Senin, 29 Oktober 2012

Camilla Gibb, The Other Side of The Western Mind
Oleh Lia Octavia

Hari belum menunjukkan pukul 9.30 pagi ketika saya memasuki ruang perpustakaan Depdiknas di bilangan Sudirman, Jakarta Selatan. Tampak pendiri dan teman-teman perwakilan pengurus FLP pusat dan cabang satu demi satu hadir, di antaranya Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, Rahmadiyanti, Denny Prabowo, Koko Nata serta yang lainnya dan rombongan dari Bandung; Irfan Hidayatullah, Femmy Syahrani, Yuni dan Nanik. Fariecha, dari FLP DKI Jakarta, menyambutku dengan senyum lebar di pintu masuk ruang perpustakaan yang nyaman itu. Ah, senang rasanya saya dapat bertemu lagi dengannya. Sayang sekali rekan saya, Nursalam berhalangan hadir karena sakit.

Hari itu, Sabtu, 24 Maret 2007, Kedutaan Besar Kanada di Jakarta bekerjasama dengan Forum Lingkar Pena menyelenggarakan diskusi terbatas dengan penulis Kanada, Camilla Gibb, dalam rangka memperkenalkan novelnya yang terbaru, Sweetness In The Belly, yang berkisah tentang seorang wanita muslim kelahiran Inggris yang bermukim di Harar, Ethiopia.

Diskusi yang dipandu oleh Asma Nadia sebagai moderator dan Dina sebagai MC sekaligus penerjemah, dimulai tepat pukul 10 pagi. Acara berlangsung hangat dan santai diselingi dengan bantuan terjemahan dadakan dari teman-teman dalam bertanya dan berbincang dengan Gibb. Gibb yang ramah dan rendah hati membuat suasana kian akrab.
Camilla Gibb lahir di London, Inggris dan dibesarkan di Toronto, Kanada. Ia telah menelurkan tiga buah novel yaitu Mouthing The Words (1999), The Petty Details of So-and so’s Life (2002) dan yang terbaru Sweetness In The Belly (2005). Selain itu, Gibb juga telah menulis berbagai cerpen, artikel, resensi dan meraih penghargaan dari The City of Toronto Book Award tahun 2000 dan CBC Canadian Literary Award untuk fiksi pendek tahun 2001.

Gibb yang meraih gelar PhD-nya dari Oxford University ini, pernah tinggal dengan keluarga muslim di Ethiophia selama satu setengah tahun, saat ia menyusun penelitiannya di sana demi menyelesaikan thesis PhD-nya.

“Saat itu, saya menulis thesis yang membosankan, kering dan tidak menarik untuk gelar PhD saya dan saya merasa kosong di dalam hati,” ungkapnya. Kemudian Gibb mulai menulis fiksi sambil bekerja di universitas selama tiga tahun hingga buku pertamanya terbit dan beredar di mancanegara. Debutnya sebagai penulis novel dimulai di suatu musim panas tatkala ia menulis sebuah cerpen yang kemudian berkembang menjadi sebuah novel, tinggal di daerah pinggiran di dalam sebuah trailer dengan sebuah keluarga khas Amerika. Ditengah riuh rendah semarak kehidupan keluarga ini, Gibb menyelesaikan buku pertamanya. Di situlah Gibb menemukan dunianya. Pengalaman ditolak oleh berbagai editor yang pernah dialaminya, sama sekali tidak menyurutkan semangat dan langkah Gibb untuk terus menulis. Gibb membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk menyelesaikan novel tersebut dan kemudian ia mengundurkan diri dari pekerjaannya di universitas untuk berkonsentrasi pada profesi barunya; menjadi penulis.

“Saya ingin menjadi seorang penulis sejak berusia enam tahun. Saat itu saya menulis puisi saya yang pertama, tetapi karena stereotype masyarakat pada umumnya tentang masa depan seorang penulis yang identik dengan kemiskinan, dianggap aneh dan tidak menjanjikan masa depan yang cemerlang membuat saya harus melupakan keinginan itu sejenak demi menyelesaikan studi saya. Apalagi saya adalah anggota keluarga pertama yang dapat kuliah hingga di tingkat universitas sehingga seluruh tekanan keluarga bertumpu pada saya,” paparnya.

Sweetness In The Belly ditulisnya sebelum peristiwa 9/11, Gibb yang pernah belajar bahasa Arab dan membaca Al Qur’an selama ia bermukim di Kairo dan Ethiopia, tinggal dengan keluarga muslim selama satu setengah tahun di Kairo, mengaku bukanlah seorang Kristen yang baik, tidak pernah ke gereja dan bahkan Gibb membaca Al Qur’an terlebih dahulu sebelum membaca injil. Gibb menuliskan gambaran kehidupan dan kebudayaan masyarakat muslim di Ethiopia yang ramah tamah, sopan, rendah hati. Sesama manusia yang juga memiliki perasaan, hati dan rasa yang sama untuk dihargai oleh orang lain. Bahwa Islam bukanlah identik dengan kekerasan seperti yang menjadi stereotype di dunia barat. Menurutnya, dunia perlu mengetahui yang sebenarnya tentang Islam, bukan rekayasa dan propaganda media barat yang berlebih-lebihan yang dibuat untuk kepentingan golongan tertentu.

Lebih lanjut, menurut Gibb, bila kita melihat segala sesuatunya dengan pikiran dan mata yang terbuka, maka kita akan melihat kenyataan yang sebenarnya. Novel ini mendapatkan reaksi positif dari teman-temannya yang kebanyakan muslim, Gibb menulis sesuatu yang berbeda, lain daripada yang lain, langsung pada sumbernya dan tentu saja berpikir beda. Karena banyak pembaca di belahan barat yang haus akan mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, tidak dimanipulasi oleh pers Amerika. Mereka berhak mendapatkan bacaan yang “berisi”. Menuturkan, tidak menggurui.

Semua tulisan-tulisannya umumnya mengenai kemanusiaan, rasa kebersamaan, empati dan toleransi. Bahwa yang terpenting dari hidup adalah bagaimana perjuangan seorang manusia untuk menjadi orang yang baik. Rasa terima kasih yang tulus juga disampaikan kepadanya dari umat muslim Toronto yang multikultural atas tulisannya yang memaparkan sisi dari kehidupan umat muslim yang berbeda dari pandangan barat.
Walaupun novel ini sempat mengejutkan masyarakat barat pada umumnya, tetapi Gibb telah merencanakan untuk pembuatan novel selanjutnya mengenai hubungan antara umat muslim dan non muslim.

Gibb menulis dari hati, mengungkap benang merah yang sama dari beragam kebudayaan di dunia, bahwa cinta dan kebahagiaan, itulah yang menyatukan kita semua.

Jakarta, 26 Maret 2007
Teruntuk sahabat-sahabat FLP pada umumnya dan FLP DKI Jakarta pada khususnya
“Tetap semangat dalam berjuang dan berdakwah…”
My Profile in Annida-Online in Aug 2009



Aku sebenarnya tidak tahu bahwa hasil wawancaraku dengan Mbak Esthi bulan Juli yang lalu sudah diposting di annida-online.com. Mbak Uri, sahabatku yang sekarang tinggal di Balikpapan, yang memberitahu semalam di sela-sela kesibukanku mempersiapkan keberangkatan ke Solo untuk menghadiri Munas II FLP, 14-16 Agustus 2009.

Segala puji syukur hanya kupanjatkan pada Sang Cinta yang telah memberiku begitu banyak ruang untuk berkreasi dan berkarya di dunia ini.

Berikut hasil wawancara yang aku copas dari annida-online.com, Wawancara ini dilakukan pada akhir acara Meet And Greet FLP Jakarta & Peluncuran buku Hikari No Michi  tanggal 12 Juli 2009 lalu di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Jadi tak heran bila di foto tersebut aku kelihatan lelah tapi senang ^_^

Jakarta, 14 Agustus 2009 at 12.00 p.m.

***************


http://annida-online.com/berita.php?id=94



Annida-Online--Kegiatannya seabreg-abreg. Setiap hari disibukkan dengan tugas-tugas kantor, menulis, menjalankan amanah sebagai sekretaris dua organisasi, aktif di milis serta rangkaian promosi buku. Ooo ... siapa dia? Lia Octavia jawabnya. Perempuan berkacamata ini adalah Sekretaris Forum Lingkar Pena (FLP) Jakarta dan FLP Pusat. Saat ini, Lia tengah getol mempromosikan buku-buku barunya yakni Hikari No Michi, Bela Diri for Muslimah serta Padang Oase (Halaman Moeka Publishing, Juni 2009).

Dua minggu lalu, Lia dkk mempromosikan Bela Diri for Muslimah (LPPH, April 2009) di Gramedia Depok serta RRI Pro 2 Jakarta. Bentuk promo yang dilancarkan Lia tak melulu dengan roadshow. Khusus untuk Hikari No Michi (LPPH, Juni 2009) yang ditulisnya bareng rekan-rekannya di FLP Jepang, Lia membantu pendistribusian buku itu. Ia mengirimkannya ke berbagai alamat majelis/pengajian-pengajian di Negeri Sakura tersebut.

Rencananya, dalam waktu dekat Lia dkk bakal keliling kota di Pulau Jawa dan Sumatera untuk promosi Padang Oase. Buku ini adalah antologi puisi indie, yang digarap bareng Lia bersama enam orang penulis lain yakni Dani Ardiansyah, Jun An Nizami, Divin Nahb, Arrizki Abidin, Nia Robie', dan Emir Fanha. Hampir semua karya Lia memang dikerjakan bareng-bareng. Lia lebih suka menulis 'berjamaah', begitu ia menyebut. Menurutnya, menulis bersama ini lebih sulit karena harus menyamakan persepsi dan mematuhi tenggat.

Kendati kegiatannya begitu padat, Lia tetap meluangkan waktunya untuk menulis.

"Saya kerja dari pagi sampai sore. Pulang kerja itulah biasanya saya menulis dan menjalankan amanah organisasi. Untuk menulis, saya lebih sering menulis puisi dan mendulukan yang dekat dengan deadline," tutur Lia, saat ditemui usai acara Meet and Greet 'Saatnya Anak Jakarta Menulis' di PDS HB Jassin, Jakarta, Minggu (12/7) lalu.

Ngomong-ngomong tentang puisi nih, Lia kerap menggunakannya dalam keseharian lho. Contohnya saat ber-SMS-ria dengan sobat-sobatnya.

"Kalau cuma SMS 'apa kabar' kan biasa banget. Biar beda dan berkesan, saya dan teman-teman bertukar kabar pakai puisi. Dari situ biasanya bisa dikembangkan lagi menjadi puisi yang panjang," urainya.

Soal hasil karya, Lia mengaku tak pernah mematok target.

"Menulis itu sesuatu yang sangat menyenangkan. Nggak ada patokan untuk menulis berapa karya, berapa lama, atau kapan harus selesai supaya nggak ada beban," lanjut pemilik blog mutiaracinta.multiply.com ini. [Esthi]



The Secret Of Heaven - Dari Bandara Sepinggan, Balikpapan hingga Bandara Soekarno Hatta, Jakarta


Pada tanggal 25 September 2009 sore, saya sudah berada di Bandara Sepinggan, Balikpapan, untuk kembali ke Jakarta dengan pesawat Garuda. Penerbangan yang seharusnya dijadwalkan berangkat dari Balikpapan pukul 17.55 WITA, ternyata mundur hingga pukul 19.30 WITA. Berhubung pengunduran waktu keberangkatan tersebut baru diberitahukan ketika saya check in di counter Garuda apalagi petugas Garuda dengan sopan yang meyakinkan saya bahwa tidak ada masalah sama sekali pada pesawatnya, hanya perubahan operasional saja, yang membuat saya juga tidak merasa keberatan sama sekali.

Di antrian belakang saya, ada seorang laki-laki muda yang tampan - yang membuat saya berpikir rasa-rasanya saya pernah melihatnya entah di mana, mungkin di TV atau lainnya - yang semula asyik memencet tombol-tombol ponselnya, mendadak terkejut juga mendengar perihal pengunduran waktu keberangkatan pesawat. Akhirnya kami bersama-sama berjalan memasuki ruang tunggu untuk boarding yang sangat ramai sekali sore itu.

Setelah saya mendapat tempat duduk, saya memutuskan untuk melanjutkan membaca buku "The Secret Of Heaven" karya Pak Herry Nurdi yang saya pinjam dari Kang Taufan. Saya benar-benar tenggelam dalam bacaan saya tersebut sehingga tidak begitu memedulikan keadaan sekeliling. Kru Garuda mulai membagi-bagikan makanan bagi para penumpang yang pesawatnya delay termasuk saya. Sesaat saya merasa "jet lag" karena saya sedang asyik mengembara dengan buku bacaan saya dan saya lupa saya berada di mana. Laki-laki tampan yang tadi check in bersama-sama saya ternyata duduk di seberang saya. Saya bangkit untuk mengambil kotak makanan lalu meneruskan membaca sambil makan. Saya lihat laki-laki tersebut juga ikut bangkit dan mengambil makanan.

Sedang asyik-asyiknya saya membaca The Secret Of Heaven, tiba-tiba seorang laik-laki yang duduk di sebelah saya menegur saya. "Mbak, itu buku karangan Forum Lingkar Pena ya?" tanyanya.
Saya terkejut dan merasa sedikit terganggu. Namun karena ia menyebut-nyebut FLP, saya mengiyakan pertanyaannya sambil tersenyum.

"Iya benar. Ini buku karangan anggota FLP. Judulnya The Secret Of Heaven, ditulis oleh Herry Nurdi," kataku sambil menunjukkan sampul buku itu.

Laki-laki itu memerhatikan dengan seksama, lalu ia berkata, "Mbak, boleh saya pinjam nggak bukunya? Saya baca di sini aja sembari menunggu keberangkatan pesawat saya."

Saya terkejut sekali. Sudah jelas-jelas saya sedang asyik membaca buku ini, kok malah mau dipinjam lagi. Saya diam saja. Kemudian ia berkata lagi, "Saya sangat menyukai buku-buku karangan anggota FLP. Seperti Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. Saya membaca buku-buku tersebut sejak saya masih SMA. Saya termasuk fans berat FLP lho! Hanya sayang saja, karena sekarang saya sibuk bekerja, saya tidak punya banyak waktu untuk membaca karya-karya terbaru anggota FLP."

Saya menghela nafas. Kekagumannya pada FLP meluluhkan hati saya dan menyingkirkan keinginan saya untuk membaca buku itu.
Saya menyodorkan buku itu padanya, "Ini, silakan dibaca bukunya, Pak. Tapi baca di sini aja ya, jangan dibawa pulang."

Laki-laki itu tersenyum lebar. Seperti anak kecil yang mendapat permen, ia langsung mengambil buku itu dan membalik halaman pertamanya dengan antusias. "Saya mau ke Makassar, Mbak. Jadi saya hanya baca buku ini sebelum saya boarding. Nanti saya kembalikan lagi pada Mbak. Makasih ya, Mbak."

Jadilah orang itu membaca buku The Secret Of Heaven dengan asyiknya sementara saya duduk bengong di tengah keriuhan ruang tunggu sore itu. Laki-laki tampan yang tadi masih duduk di seberang saya sambil memerhatikan saya. Lalu kru Garuda kembali membagi-bagikan makan malam. Saya melihat jam. Pukul 19.30 WITA. Menurut info terakhir, ternyata pesawatnya akan berangkat pukul 20.30 WITA. Masih satu jam lagi. Saya memandang laki-laki tampan tersebut, tersenyum, lalu bangkit dari tempat duduk saya untuk mengambil makan malam. Laki-laki tersebut juga ikut-ikutan bangkit dan mengambil kotak makanan di counter Garuda. Saya menikmati makan malam saya sambil berharap laki-laki yang sedang meminjam buku The Secret Of Heaven itu segera berangkat ke Makassar sehingga saya bisa meneruskan membaca buku tersebut. Sembari menunggu - saya juga tidak bisa membedakan apakah saya menunggu untuk segera boarding atau menunggu buku itu dikembalikan - laki-laki tampan tadi masih duduk sambil memerhatikan saya.

Saya menghembuskan nafas. Saya benar-benar heran apa yang diperhatikan olehnya. Saya melihat pakaian saya biasa saja. Saya juga melap mulut saya siapa tahu ada sisa saus yang menempel. Mengapa ia melakukan apa-apa yang saya lakukan? Sudah dua kali saya mengambil makanan dan ia mengikuti saya. Saya mulai jengah dan tidak nyaman.

Tiba-tiba orang yang meminjam buku The Secret Of Heaven itu mengembalikan buku itu pada saya seiring dengan pengumuman bahwa pesawatnya sebentar lagi akan berangkat. Saya menghela nafas lega dan menerima buku itu dengan senang.

"Buku ini bagus sekali, Mbak. Apakah sudah ada di toko buku? Saya mau membelinya dan merekomendasikannya pada teman-teman saya," katanya.

"Oooh, sudah ada kok, Pak. Silakan beli ajah!" jawab saya cepat-cepat. Lalu ia pamit dan berangkat ke Makassar. Baru saya mulai membaca lagi, tiba-tiba ada seorang perempuan muda duduk di samping saya dan mengajak saya mengobrol. Saya berusaha bersikap sopan dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya walau saya benar-benar tidak tahu apa yang dikatakannya. Kemudian panggilan dari kru Garuda bahwa pesawat saya sudah tiba dan kami sudah bisa menaiki pesawat.

Saya buru-buru menyimpan buku itu di dalam tas dan bangkit berdiri serta berjalan menuju pintu keluar menuju lapangan tempat pesawat diparkir. Di tengah tiupan angin dari Selat Makassar yang berhembus kencang malam itu, saya berjalan menuju pesawat diikuti oleh laki-laki tampan yang ternyata berjalan di belakang saya. Saya agak menyesal karena saat itu saya memakai rok panjang sehingga saya tidak bisa berlari. Setelah menaiki pesawat dan duduk di bangku saya, saya mengeluarkan buku itu dan kembali membacanya.

Sepanjang perjalanan saya tenggelam membaca buku itu hingga mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Ketika saya bangkit berdiri dari kursi saya, saya menengok ke belakang dan ternyata laki-laki tampan itu duduk tepat di belakang kursi saya! Dengan wajah yang mengantuk - karena saat itu hampir pukul 22.00 WIB - ia memandang saya. Saya balik memandangnya sambil menguap lebar-lebar dengan sengaja. Setidaknya ia akan berhenti mengikuti saya, begitu pikir saya saat itu.

Ternyata perkiraaan saya salah, saat saya menunggu untuk mengambil bagasi, laki-laki tampan tersebut berdiri menjulang di sebelah saya. Setelah mengambil tas-tasnya, laki-laki itu tiba-tiba menoleh dan berkata pada saya, "Saya juga ingin tahu apa rahasia surga."  

Dan saya merasa buku The Secret Of Heaven itu pasti sekarang sedang bernyanyi di dalam tas saya...


Jakarta, 16 Oktober 2009 at 2.30 p.m.
Untuk Kang Taufan: terima kasih ya sudah meminjamkan buku ini padaku ^^*

My 7th book: "Antologi Puisi Penulis Lepas" with Penulis Lepas and Komunitas Puisi FLP Community


Alhamdulillah, akhirnya buku antologi yang disusun sejak beberapa tahun yang lalu akhirnya terbit di awal 2011, dan terus terang sebenarnya saya sudah lupa sama sekali bahwa puisi saya terpilih dalam proyek buku antologi ini. Maklumlah terakhir kali saya berinteraksi dengan Bang Jonru & Mas Epri mengenai buku ini sekitar tahun 2008 dan ketika ngobrol-ngobrol dengan Mas Epri di acara Apresiasi Sastra di Wapres, Blok M, sekitar thn itu juga, Mas Epri masih belum mengetahui kapan buku ini bisa diterbitkan. Seiring berjalannya waktu, saya melupakannya.

Tiba-tiba, awal Januari 2011 lalu, Mas Epri meminta biodata saya dan memberitahukan bahwa akhirnya buku antologi puisi ini akan segera dicetak dan akan dilaunching akhir Feb 2011 nanti. Kaget bercampur senang. Sebuah kado yang manis yang diberikan Tuhan pada saya di awal tahun 2011 ini.

Terima kasih pada Bang Jonru, Mas Epri dan semua rekan-rekan yang sudah bekerja keras untuk mewujudkan buku antologi ini. Semoga buku ini dapat menyemarakkan ranah sastra di tanah air, khususnya puisi.

Acara launching buku antologi ini dapat langsung dilihat di:

http://apresiasipuisi.multiply.com/calendar/item/10093

Ditunggu kehadiran teman-teman semuanya.. ^__^


My 6th book: "I Love You, Friends" with FLP - antologi kasih FLP untuk Palestina
Terbit: June 2010
Penerbit: Lingkar Pena Publishing House




Friendship isn't how you forget but how you forgive,
Not how you listen but how you understand,
Not what you see but what you feel,
and not how you let go but how you hold on. (Anonymous)

***

Begitu dahsyatnya makna sahabat, Aristoteles sampai mengatakan bahwa sahabat laksana satu jiwa yang terdapat dalam dua tubuh. Dan lihatlah, betapa memang sahabat dihargai karena kesetiaannya dan penerimaannya terhadap apa adanya kita, bukan terhadap ada-apanya kita.

Namun, apa yang terjadi jika sahabat kita berubah? Atau bahkan, tanpa kita sadari kitalah yang berubah sebagai sahabat?

Kisah-kisah nyata di dalam buku ini bercerita tentang segala hal yang dapat terjadi di dalam sebuah persahabatan. Kegembiraan, kehebohan, kemarahan, tangisan, hingga kehadiran cinta yang terasa unik.

Sangat inspiratif, menggetarkan, dan mengajak kita untuk meninjau ulang relief persahabatan yang kita miliki. Masihkah ia berharga, atau tak perlu lagi kita jaga?


My 5th book: "Bela Diri Muslimah" with FLP Jakarta
(Cover buku terfavorit thn 2009 versi Fachmy Casova)




Saya cukup terkejut juga ketika membaca postingan ini di blog-nya Fachmy Casofa yang di-share ke milis umum FLP dan tidak menyangka buku saya bersama teman-teman yaitu Bela Diri For Muslimah (Lingkar Pena Publishing House, 2009) merupakan cover buku terfavorit versi Fachmy sepanjang tahun 2009.

Alhamdulillah, saya sungguh bersyukur. Semoga dapat memacu kreativitas teman-teman desainer cover buku lainya. Dan terima kasih banyak pada Fachmy yang telah memilih cover buku ini sebagai cover buku terfavoritnya sepanjang tahun 2009.

Berikut saya copas linknya dari blog Fachmy.

Jakarta, 9 Desember 2009 at 1.30 p.m.

*************

http://writhink.wordpress.com/2009/12/08/6-kaver-buku-favorit-tahun-2009/#comment-337


Mungkin ini terdengar subyektif yah, tapi it’s okay. Ini hanyalah sebagai bentuk penghargaan saya kepada para book’s cover designer. Saya kadang berpikir, mengapa tidak ada award kepada mereka para pembuat kaver buku. Padahal, banyak hal yang harus mereka kerjakan untuk menghasilkan kaver buku yang sangat menarik, unik, nge-kick ketika di display, dan menggoda calon pembeli untuk mendekati buku tersebut. Jadi, posisinya seorang pembuat kaver buku sangat penting.

Dan inilah, enam kaver buku favorit yang kutahu dan langsung kusukai, di sepanjang tahun 2009 ini. Tidak ada urutan siapa juara satu, siapa juara tujuh, tapi, semua-muanya menjadi juara. Karena keenam kaver buku ini memang sangat keren, unik, menggoda, dan mengagumkan versi saya. Apa saja itu? Oke, langsung saja kita keber bareng-bareng yah, ini dia:

Kenapa saya suka kaver buku ini? Lihatlah, kaver ini begitu bersih, perpaduan warnanya asyik, yang jadi model pun, coba lihat matanya? Sangat tajam dan keren. Sangat pas mengulas tentang isi buku yang mengulas tentang bela diri. kaver depan dan belakang, sangat-sangat keren!!!


My 4th book: "Padang Oase" - Sebuah Antologi Puisi Tujuh Penyair Muda


Judul : Padang Oase - Sebuah Antologi Puisi Tujuh Penyair Muda
Penulis : Lia Octavia, Jun An Nizami, Divin Nahb, Nia Robie', Dani Ardiansyah, Emir Fanha, Arrizki Abidin
Penerbit : Halaman Moeka Publishing
Cetakan : Pertama, 2009




Puisi yang Menyejukkan

oleh Asep Sambodja


Penyair-penyair muda akan selalu lahir, tumbuh, dan berkembang. Setiap zaman akan melahirkan penyair-penyairnya sendiri. Sejak Muhammad Yamin menerbitkan buku kumpulan puisi Tanah Air pada 1922, yang ketebalannya hanya 16 halaman, penyair-penyair Indonesia semakin hari semakin intens menerbitkan buku puisi mereka. Bersamaan dengan itu, segala macam eksperimen terus dilakukan oleh penyair muda atau penyair yang baru untuk mendapatkan writing style-nya sendiri. Dan itu memerlukan perjuangan yang maha hebat.
Ada yang mencoba membebaskan kata dari beban makna sebagaimana yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri pada 1973, yang mendobrak konsep kesenian Chairil Anwar yang justru memberi makna pada setiap kata. Keduanya sama-sama mendapat tempat yang terhormat di mata pengamat sastra Dami N. Toda, yang menjuluki Chairil Anwar sebagai sisi mata kanan dan Sutardji Calzoum Bachri sebagai sisi mata kiri dalam konstelasi sastra Indonesia. Baik Chairil Anwar maupun Sutardji Calzoum Bachri memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan puisi di Indonesia.
Selain dari estetikanya, ada sastrawan yang mencoba menerapkan konsep “seni untuk rakyat” dalam berkarya. Artinya, setiap menulis puisi, cerpen, novel, drama, maupun esai, karyanya itu diharapkan memiliki manfaat langsung bagi pembacanya. Para sastrawan dan seniman yang mengusung konsep “seni untuk rakyat” itu menginginkan agar karyanya bisa memberi rasa optimistis bagi pembacanya. Sementara di sisi lain, ada sastrawan yang mengusung konsep “seni untuk seni” dalam berkarya. Mereka yang mengusung konsep ini menganggap kebebasan dalam mencipta adalah segala-galanya, dan tidak harus karyanya itu selalu dipahami oleh masyarakat pembacanya. Kedua konsepsi berkesenian itu hingga sekarang masih tumbuh subur dalam karya-karya sastra Indonesia mutakhir.
Bagaimana dengan penyair-penyair Forum Lingkar Pena (FLP) Jakarta yang memproduksi buku kumpulan puisi Padang Oase ini? Apakah mereka menghadirkan sesuatu yang baru, yang orisinal? Pertanyaan semacam ini sungguh merepotkan, karena di zaman globalisasi ini sulit sekali kita temui sesuatu yang orisinal. Tapi, kalau kita teliti dengan seksama, maka kita akan sampai pada satu asumsi dasar bahwa ternyata orisinalitas itu melekat pada diri penyair itu sendiri. Barangkali bisa dianalogikan dengan sidik jari setiap manusia di dunia ini yang demikian orisinal, khas, unik, dan tidak ada yang sama antara satu dengan lainnya.
Dengan demikian, orisinalitas yang seringkali dituntut atau dibebankan kepada penyair-penyair muda itu barangkali bisa digali atau dieksplorasi dari diri mereka sendiri. Setiap manusia memiliki pikirannya sendiri, perasaan yang unik, pengalaman yang berbeda-beda, imajinasi yang khas, dan sebagainya. Hal inilah yang bisa terbaca dalam puisi-puisi tujuh penyair FLP Jakarta, yakni Emir Fanha, Divin Nahb, Lia Octavia, Nia Robie, Dani Ardiansyah, Jun An Nizami, dan Arrizki Abidin.
Para penyair ini lahir pada 1980-an, yang kalau kita kaitkan dengan konteks keindonesiaan, mereka lahir di saat Indonesia tengah berproses dari negara yang autokrasi menuju negara demokrasi. Ide-ide mereka masih segar, tidak ada kekuatan yang membelenggu pikiran mereka. Suara-suara (messages) yang mereka keluarkan pun diharapkan mampu menggambarkan kehidupan masyarakat pada zamannya. Karena kita tahu bahwa karya sastra, dalam hal ini puisi, merupakan produk penyair yang notabene representasi dari masyarakatnya. Dalam kondisi transisi dari autokrasi ke demokrasi seperti itu, yang tergambar adalah adanya proses tawar-menawar, negosiasi antara individu dengan individu lainnya, kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya, warga negara dengan warga negara lainnya, komunitas budaya dengan komunitas budaya lainnya, lokal dengan global, dan seterusnya. Dapat dikatakan bahwa dalam kondisi seperti itu pula tercermin adanya proses akulturasi atau adaptasi maupun benturan ataupun resistensi dalam kehidupan yang multikultural semacam itu.
Puisi Nia Robie’ yang berjudul “Berlalu Melewati Telingamu” memperlihatkan adanya proses negosiasi antara individu dengan orang lain.

Dulu.. kataku kata yang membatu
Engkau genggam dan diselimuti malam
Kini, kataku kata angin...
Yang berlalu melewati telingamu.

Demikian pula dengan puisi Divin Nahb, “Jelma Takdir”, yang menggambarkan hubungan laki-laki dengan perempuan dengan menggunakan simbol-simbol klasik dan purba. Berikut saya kutip bagian pertama dari puisinya tersebut.

/1/
Tubuh di hadapan hijaunya nuansa Tuhan dalam dunia dalam besarnya kanvas terbentang. Ditiupkan eloknya lewat tanganNya dimainkan segala. Biar kuketuk seluruh aromamu meski tak ada lagi puitisasi berirama purba. Meski terjerembab tubuh tanpa gelora, bahkan rasa. Luka menganga pada goa mati berbau nyengat. Rambah dan kecuplah Tuhan, lalu jilati bagi dia kelak beri benih. Kaki kelu dan lebur jadi abu hampa sepanjang hari yang kau telanjangi.

Mengapa Adam renggut kematian Hawa menyoal ingin terlepas dari Hawa lainnya? Bukankah Adam menitikkan luka pada Hawa yang termenung hampa yang nyatanya kaum yang memberikan rahim untuknya? Bukankah pula Adam mematikan Hawa-Hawa dalam jiwanya? Serasa kematian membaluri langit-langit sendu.

Mengapa Hawa letakkan dada dalam peluk Adam di sebuah ruang lain? Bukankah telah Hawa miliki seluruh jasad Adam yang menangis dalam ranjang Tuhan? Bukankah dalam ujung jemari sang Adam ada serbuk kehidupan yang mengucur? Hawa dalam lengking tawa meliuk goda dan menakjubkan dunia Adam.


Saya sangat yakin bahwa puisi Arrizki Abidin yang berjudul “Risauan Setan” dan “Lonte Busuk dan Germo Berekor” juga dimaksudkan sebagai tanggapan atau ekspresi Arrizki Abidin terhadap kehidupan yang tertangkap dalam kacamatanya. Apakah sang penyair berada dalam posisi yang lebih berdaya dibandingkan dengan para pekerja seks komersial—sebagaimana yang tampak dari diksi yang dipilihnya—ataukah ia merasa tak berdaya terhadap fakta yang dilihatnya itu? Ini merupakan satu hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Saya kutip puisi “Lonte Busuk dan Germo Berekor” secara utuh.

Kembang kembali merekah
Mekar
Kelopakku menganga
Dipaksa
Bukan kuminta
Benangsari melabuhkan benih fana

Lebah
Sungkurkan jantanku!
Toh, kau dapat bagian termanis
Dan kau timbun dalam sarangmu
Rayakanlah jatahmu
Jatahku?
Tak perlu cemas, kupuaskan pelangganmu

Larut dalam euforia malam
Pesta mengalun mengisi gejolak baru
Jalangku bius jantanmu
Hingga setubuh
Terbelenggu nafsu tak bermalu

Inilah caraku berdiri
Berpijak pada bumi
Dongkolku cukup dihati
Esok
Lebah menagih lagi
Siapkan aku disajaki benangsari
Duri buntutnya menohok
Lagi...
Lagi dan lagi
Hingga ku lelah dan tak berlari

Ah, nanti malam lagi
Sampai nanti
Terbunuhku mati
Telanjang diri
Dalam dosa tak terampuni


Dalam ketegangan antara satu kaum dengan kaum lainnya dalam arus globalisasi, terkadang muncul ambiguitas dalam diri sendiri. Bahkan jika tidak kuasa mengendalikan diri sendiri, maka langkah terburuk seperti bunuh diri pun menjadi pilihan. Puisi “Topengku Bopeng” karya Emir Fanha menegaskan hal itu. Persoalannya bukan melulu mengenai penetrasi budaya luar terhadap budaya lokal, bukan pula mengenai dominasi budaya Barat terhadap budaya Timur, melainkan hilangnya identitas pribadi dalam hangar-bingar globalisasi.


TOPENGKU BOPENG

Aku lari ke mal
aku cari salon
salon ternyata penuh
aku lari menunduk ke wc
aku terduduk-tergugu di atas closet
menunggu cukup waktu
tuk kembali ke salon
aku berjamur
jamur-jamur subur
pada hitungan umur

"Halo, ada orang di dalam, cepet dong?"
"tak ada," jawabku
"Anda, Saudara, Kamu, siapa lantas?
"tak ada orang, tak ada jiwa."
"lantas?"
"hanya topeng bopeng."
"kamu orang bertopeng-bopeng?"
"hanya topeng bopeng. Jangan melihatku aku mau keluar!"


Aku berlari menghindar matanya
menghindar cermin itu juga
menuju salon.
salon masih penuh.
antri, padat, berjubel.
semua orang memakai keresek hitam di kepala
aku berlari mencari keresek untuk kepalaku
ke supermarket, ke toko apa saja
habis!
aku terbang menuju lantai dasar sambil menutup wajah.
lantai di bawah sana sekilas tampak indah
dan menjanjikan kebebasan.



Puisi-puisi Lia Octavia seperti “Aku Tersenyum”, “Malam Seribu Doa”, dan “Memeluk Bulan” merupakan puisi-puisi yang indah dan enak dinikmati. Lia dan juga Jun An Nizami sudah berdamai dengan kata-kata. Artinya, kata-kata sudah tidak menjadi persoalan bagi dua penyair ini. Kata-kata mengalir dengan leluasa dan mereka tinggal mengontrolnya saja, agar kata-kata yang digunakan tidak mubazir. Tantangan bagi penyair semacam ini adalah bagaimana menghadirkan tema atau persoalan yang lebih merangsang pembacanya untuk merenungkan hidup dan kehidupannya setelah membaca puisi mereka nantinya. Berikut ini saya kutipkan puisi Lia Octavia yang saya maksud.


AKU TERSENYUM

Aku tersenyum pada malam
yang telah membuka jubahnya
dan menelusupkan ribuan bintang
ke dalam selimutku

Aku tersenyum pada kelam
yang hitamnya telah memperbolehkan aku
bersinar dan berpendar

Aku tersenyum pada hujan
yang rindunya telah mempertemukan aku
dengan pelangi

Aku tersenyum pada Cinta
yang memelukku dengan hangat
dan meletakkan aku di sisiMu
jelajahi malam
: bersama…


Sementara puisi Jun An Nizami, “Kampung Unggun” dan “Kabut Tasik” benar-benar memberikan kenikmatan kepada pembacanya tentang kampung yang senantiasa memberikan kerinduan kepada siapa pun. Kekuatan Jun An Nizami sebagai penyair terlihat dalam puisi-puisinya yang mengangkat suasana kehidupan di kampung atau pedesaan (mengangkat persoalan-persoalan rural). Lihatlah bagaimana Jun An Nizami melukiskan secara detail kehidupan di kampungnya dalam puisi “Kabut Tasik”.


Sedinding dingin menganyam hening
saat rindu genap terangkai dan ditawar kepulangan
Membesuk muasal setelah pucuk kenang lama tak dituai

Rindu Ibu merebus ubi
Rindu Ayah dan orang-orangan sawah

Karena tanah gembur ini bukan pengasingan,
tanah yang menyuguh tegalan mawar
dan ladang kacang-kacangan,
sawah dan kolam-kolam ikan

Rupanya menyelinap juga gurau kata-kata,
menjelma canda dari Beranda rumah-rumah Joglo,
melalui laju jendela kendara
yang mengintip para Ibu mengeramasi beras
untuk dipasak jadi Tutug Oncom sore nanti

Juga khusuknya para Bapak
mengasahkan sebilah kujang di rindangnya caping beringin
yang tak terganggu bocah-bocah melenggang riang
mengepung capung atau menghadang lompatan belalang

Maka pulang adalah jawaban yang bukan pelarian
Ketika bosan dimabukkan anggur
hingga menyeduhkan rindu manisnya Bajigur
atau aroma eksotik nasi liwet dan ikan asin

Mungkin
Jikapun langit barat nanti tak lagi menyambut hangat
dan menara-menara menutup sinis jendelanya
Biar saja si gembala yang telah lelah mengembara
hanya akan terusik dengan Kecapi Rincik yang berhenti dipetik
dan syahdunya Suling yang tak lagi nyaring
Maka tetaplah iringi zaman dengan merdunya Jurukawih
menembangkan orkestra alam Pasundan


Puisi Dani Ardiansyah yang berjudul “Nyaris Niskala” sungguh mengejutkan. Kata-kata dalam puisi ini demikian kuat dan terjaga sehingga memunculkan makna yang demikian dalam. Makna yang pekat, barangkali. Tapi, puisi ini sangat berhasil karena penyair benar-benar memikirkan setiap kata yang ditorehkannya.

NYARIS NISKALA

akhirnya matahari menjadi niscaya ketika hangatmu menjelma siasia
mencari ketiakmu dalam setiap lipatan malam yang selalu saja tiada
aku menggapai, meronta, menelisik setiap kali anyir payudara menyapa
dan inilah aku, fragmen nyawa dan nyaris niskala
: sunyi


Dalam kesempatan ini, saya hanya memberi pengantar kepada pembaca untuk memperkenalkan penyair-penyair FLP Jakarta ini. Saya pikir ketujuh penyair FLP ini telah berusaha memberikan yang terbaik pada dunia puisi Indonesia, dan dunia sastra Indonesia pada umumnya. Puisi-puisi yang sengaja saya tampilkan secara utuh di atas merupakan puisi-puisi terbaik mereka. Apa yang mereka suarakan sangat terkait dengan konteks keindonesiaan saat ini. Cukup banyak persoalan yang kita lihat sehari-hari. Namun, ketujuh penyair ini lebih memilih menggunakan suara yang lirih, suara yang menyejukkan pembacanya. Bagaimanapun ini merupakan proses yang harus mereka lalui. Sendiri-sendiri atau bersama-sama. Kalau Padang Oase ini dianggap sebagai terminal terakhir, maka selesailah karier mereka sebagai penyair di dunia puisi Indonesia modern. Sebaliknya, jika Padang Oase ini menjadi tempat peristirahatan sementara, sebagai tangga pencapaian sementara untuk melangkah lebih jauh lagi, bak musafir yang mengembara ke tempat-tempat sunyi dan tersembunyi, maka itulah makna tertinggi dalam penciptaan puisi ini.
Sebagaimana tempat peristirahatan sementara, saya pun tak akan mengakhiri tulisan ini dengan kesimpulan, melainkan dengan membaca sebuah puisi “Unfinished” karya Arrizki Abidin. Selamat menikmati.


UNFINISHED

Tidak ada tutup buku
Tidak ada kenangan terakhir
Tidak ada yang terselesaikan

Tidak tahu siapa yang bahagia
Tidak tahu siapa yang bersedih

Bab terakhir telah sobek
Hilang
Lalu, tangannya menelungkup diatas tangan berpenaku
Dan menggoreskan…
Yang tertinggal dan terlupakan


Citayam, 27 Februari 2009


*) Asep Sambodja adalah dosen Program Studi Indonesia FIB UI Depok.