Senin, 04 Januari 2010

Menyapa Singapura

Menyapa Singapura
Oleh Lia Octavia

Menyapamu Singapura, adalah rangkaian asa dan cinta yang terserak di balik tiket sebuah penerbangan asing yang telah kudapatkan sejak hampir dua bulan yang lalu. Sebuah mimpi yang menjelma nyata di tengah-tengah tumpukan kesibukan kerja di kantor dan rimbunan amanah beberapa organisasi serta lahirnya beberapa buku yang kukerjakan bersama teman-teman sejak awal tahun ini. Perjalanan yang direncanakan sesederhana mungkin dan sehemat mungkin membuatku harus melupakan niat untuk menghubungi teman-teman dan sanak kerabatku yang bermukim di bumimu, yang pasti akan langsung menjamuku dengan nyaman. Juga harus melupakan niat untuk menghubungi biro perjalanan langgananku karena pasti mereka akan menyediakan akomodasi yang juga nyaman bagiku. Mereka yang selalu menyediakan apa-apa yang kubutuhkan pada saat aku hanya tinggal mengatakannya.

Menyapamu Singapura adalah salah satu usahaku untuk hanya mengandalkan Allah dalam setiap langkah kakiku. Mulai dari memesan penginapan sejak jauh-jauh hari hingga mempelajari peta serta rute yang dilewati MRT untuk mencapai tempat-tempat wisata yang ingin dikunjungi. Juga menyediakan uang kontan serta membawa sesedikit mungkin barang-barang agar memudahkanku untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Hari-hari sibuk mempersiapkan segala sesuatunya hingga akhirnya hari yang dinanti itu tiba juga. Aku juga akan singgah di Johor, Malaka, dan Kuala Lumpur selama seminggu perjalanan ini.

Menyapamu Singapura adalah senyum yang terkembang dari wajah-wajah asing yang senantiasa membantuku melewati senja di bandara Soekarno Hatta. Senyum yang terus merekah hingga aku menginjakkan kaki di bumimu, Singapura, malam ini. Dari para petugas imigrasi yang penuh disiplin memeriksa barang-barang bawaan dan pasporku hingga senyum Mbak Shinta Anita, sahabat yang sekaligus salah satu narasumber buku terbaruku yang kini menghuni bumimu, datang menjemput malam itu bersama putri kecilnya yang cantik.

Menyapamu Singapura adalah butir-butir syair yang meluruh di atas shuttle bus yang membawaku keluar terminal kedatangan Changi International Airport, meniup ujung-ujung kerudungku, hingga kemudian syair itu menjelma lagu seiring langkahku memasuki MRT yang membawaku menuju penginapan di daerah Geylang. Daerah pemukiman yang berbeda di sisi lain negaramu.

Menyapamu Singapura adalah culture shock yang kualami saat membeli makan malam di sebuah kedai muslim India. Menggunakan bahasa Indonesia, tak mungkin. Menggunakan bahasa Inggris ternyata pelayan kedai makanan itu tidak bisa bahasa Inggris. Menggunakan bahasa Melayu malah membuatku makin tidak mengerti apa yang mereka maksud. Rasa lapar yang kian menggigit ditambah kacaunya berkomunikasi walau akhirnya aku memakai bahasa isyarat, membuat homesick langsung menyergap dan membasahi mataku. Namun ketika nasi goreng itu akhirnya telah mengepul di atas bungkusan styrofoam putih di tanganku, seluruh rasa meluruh dan bertaburan menjadi bintang-bintang di setiap binar petugas resepsionis penginapan dan Mbak Shinta serta Mas Nandha, suaminya, yang mengantarku hingga masuk ke kamar yang telah ditentukan. Mbak Yana, sahabat yang menyertai perjalananku kali ini, langsung menyantap makan malam, mandi, serta beristirahat.

Menyapamu Singapura adalah ucap selamat malam yang kaubisikkan saat aku merebahkan tubuhku yang penat sambil menutup tirai dan melambai pada bulan yang memandang di luar jendela. Suaramu yang lembut menjawab sapaku malam ini Menjawab mimpi yang telah menjelma nyata. Selamat datang, Lia.


Bandara Soekarno Hatta – Changi Airport – Geylang, Singapore, Kamis 23 Juli 2009


************

1 komentar:

  1. Singapura ..., belum pernah kebayang. tapi paling tidak udah baca kisi2nya, thanks mbak atas sharenya, pengen banyak belajar dari penulis2 di FLP. salam persahabatn ... salam menulis.

    BalasHapus