Menyapa Singapura
Oleh Lia Octavia
Menyapamu Singapura, adalah rangkaian asa dan cinta yang terserak di balik tiket sebuah penerbangan asing yang telah kudapatkan sejak hampir dua bulan yang lalu. Sebuah mimpi yang menjelma nyata di tengah-tengah tumpukan kesibukan kerja di kantor dan rimbunan amanah beberapa organisasi serta lahirnya beberapa buku yang kukerjakan bersama teman-teman sejak awal tahun ini. Perjalanan yang direncanakan sesederhana mungkin dan sehemat mungkin membuatku harus melupakan niat untuk menghubungi teman-teman dan sanak kerabatku yang bermukim di bumimu, yang pasti akan langsung menjamuku dengan nyaman. Juga harus melupakan niat untuk menghubungi biro perjalanan langgananku karena pasti mereka akan menyediakan akomodasi yang juga nyaman bagiku. Mereka yang selalu menyediakan apa-apa yang kubutuhkan pada saat aku hanya tinggal mengatakannya.
Menyapamu Singapura adalah salah satu usahaku untuk hanya mengandalkan Allah dalam setiap langkah kakiku. Mulai dari memesan penginapan sejak jauh-jauh hari hingga mempelajari peta serta rute yang dilewati MRT untuk mencapai tempat-tempat wisata yang ingin dikunjungi. Juga menyediakan uang kontan serta membawa sesedikit mungkin barang-barang agar memudahkanku untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Hari-hari sibuk mempersiapkan segala sesuatunya hingga akhirnya hari yang dinanti itu tiba juga. Aku juga akan singgah di Johor, Malaka, dan Kuala Lumpur selama seminggu perjalanan ini.
Menyapamu Singapura adalah senyum yang terkembang dari wajah-wajah asing yang senantiasa membantuku melewati senja di bandara Soekarno Hatta. Senyum yang terus merekah hingga aku menginjakkan kaki di bumimu, Singapura, malam ini. Dari para petugas imigrasi yang penuh disiplin memeriksa barang-barang bawaan dan pasporku hingga senyum Mbak Shinta Anita, sahabat yang sekaligus salah satu narasumber buku terbaruku yang kini menghuni bumimu, datang menjemput malam itu bersama putri kecilnya yang cantik.
Menyapamu Singapura adalah butir-butir syair yang meluruh di atas shuttle bus yang membawaku keluar terminal kedatangan Changi International Airport, meniup ujung-ujung kerudungku, hingga kemudian syair itu menjelma lagu seiring langkahku memasuki MRT yang membawaku menuju penginapan di daerah Geylang. Daerah pemukiman yang berbeda di sisi lain negaramu.
Menyapamu Singapura adalah culture shock yang kualami saat membeli makan malam di sebuah kedai muslim India. Menggunakan bahasa Indonesia, tak mungkin. Menggunakan bahasa Inggris ternyata pelayan kedai makanan itu tidak bisa bahasa Inggris. Menggunakan bahasa Melayu malah membuatku makin tidak mengerti apa yang mereka maksud. Rasa lapar yang kian menggigit ditambah kacaunya berkomunikasi walau akhirnya aku memakai bahasa isyarat, membuat homesick langsung menyergap dan membasahi mataku. Namun ketika nasi goreng itu akhirnya telah mengepul di atas bungkusan styrofoam putih di tanganku, seluruh rasa meluruh dan bertaburan menjadi bintang-bintang di setiap binar petugas resepsionis penginapan dan Mbak Shinta serta Mas Nandha, suaminya, yang mengantarku hingga masuk ke kamar yang telah ditentukan. Mbak Yana, sahabat yang menyertai perjalananku kali ini, langsung menyantap makan malam, mandi, serta beristirahat.
Menyapamu Singapura adalah ucap selamat malam yang kaubisikkan saat aku merebahkan tubuhku yang penat sambil menutup tirai dan melambai pada bulan yang memandang di luar jendela. Suaramu yang lembut menjawab sapaku malam ini Menjawab mimpi yang telah menjelma nyata. Selamat datang, Lia.
Bandara Soekarno Hatta – Changi Airport – Geylang, Singapore, Kamis 23 Juli 2009
************
Senin, 04 Januari 2010
Boscha: And The Life Goes On
Boscha: And The Life Goes On
Oleh Lia Octavia
Mungkin apa yang dirasakan Boscha lebih dari seratus tahun yang lalu kurang lebih sama dengan perasaan saya saat memandang hamparan hijau pegunungan dengan embun menetesi setiap helai daun yang bunga-bunganya tersenyum pada matahari dan puncak gunung berselimut kabut yang merangkul awan-awan putih yang kadangkala mengarak hujan. Menyemai setiap benih-benih kehidupan di lereng perkebunan Malabar yang terletak di Pangalengan, sebuah daerah yang terletak sekitar 45 kilometer selatan Bandung. Di atas ketinggian 1550 meter di atas permukaan laut itulah saya jatuh cinta pada alamnya, dimana lebih dari 120 tahun yang lalu Boscha membangun mimpi-mimpinya lalu mewujudkannya sebagai warisan kehidupan untuk generasi setelahnya. Warisan yang kini sedang saya nikmati bersama kedua sahabat saya, Mbak Wiwiek dan Mbak Fisra, dalam sebuah perjalanan petualangan awal tahun yang tidak terlupakan di Pangalengan, Bandung Selatan.
Tentang KAR Boscha
Terlahir dengan nama lengkap Karel Albert Rudolf Boscha di S’Gravenhage, Belanda pada tahun 1865, seorang insinyur yang kemudian datang ke Indonesia; Medan, Borneo, Sukabumi, dan kemudian Pangalengan pada tahun 1887. Di Pangalengan inilah Boscha membuka perkebunan teh yang dinamakan perkebunan teh Malabar pada tahun 1890 dimana Boscha kemudian menetap, pada sebuah rumah bercerobong asap yang terletak di antara hamparan pohon dan perkebunan teh, membelah udara dingin yang bersuhu rata-rata 16 derajat Celsius tersebut. Ia mempekerjakan penduduk pribumi sebagai pemetik teh di perkebunannya, juga membuat sistem irigasi hingga pabrik pengolahan teh yang masih beroperasi hingga sekarang. Boscha mempelajari teh di Sukabumi hingga kemudian menjabat sebagai manajer perkebunan teh Malabar hingga ia wafat pada tahun 1928. Ia juga membangun sekolah pada tahun 1913 di tengah perkebunan teh sebagai sarana pendidikan bagi putra putri karyawan perkebunan.
Boscha tidak hanya dikenal di dunia budidaya teh. Ia banyak menyumbangkan tenaga, pikiran, dan dana bagi kepentingan sosial dan pembangunan kota Bandung, seperti Observatorium Bintang Boscha di Lembang, Bala Keselamatan di Jl. Jawa, sekolah bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara, Telefoon Maatschappij voor Bandung en Preanger di Jl. Tegallega (kini PT INTI), kompleks Nederlands-Indische Jaarbeurs (Pekan Raya) yang kini menjadi kantor Kologdam, dan sebagai anggota dewan penyantun untuk Tehnische Hogerschool (kini ITB). Ia juga mendirikan institut kanker dan yang pertama memperkenalkan satuan hektar dan kilometer untuk menggantikan satuan tradisional pal dan bahu. Ia juga mendirikan pembangkit tenaga listrik di air terjun Cilaki yang hingga kini menjadi penyedia tenaga listrik bagi pabrik teh dan perumahan karyawan.
Cinta pada hutan kecil itu
Pagi itu, saya bersama Mbak Wiwiek dan Mbak Fisra langsung menuju perkebunan teh Malabar yang terletak kurang lebih lima belas menit perjalanan dengan mobil dari tempat penginapan kami di Pangalengan. Sisa hujan semalam masih menggenang di setiap lekuk jalan dan embun masih menetesi ujung sepatu converse biru saya. Pagi yang dingin, berkabut, dan menenangkan. Tidak ada yang mengalahkan kenyamanan menjejakkan kaki di tanah yang basah diiringi hembusan angin dan riuh pohon-pohon berderak di sepanjang jalan. Teh hangat dan nasi goreng yang baru saja saya nikmati di penginapan turut menghangatkan tubuh saya yang berselimut jaket dan berbalut pakaian serba biru; kaus katun biru tua dirangkap dengan kaus jumper biru muda dan jeans biru tua serta kerudung biru muda yang menutup kepala saya. Pagi yang membuat saya bernyanyi.
Kemudian kami tiba di sebuah tempat dengan papan besar bertuliskan “Perkebunan Teh Malabar” di pintu gerbangnya. Begitu kami memasuki pintu gerbang itu, saya langsung melihat hamparan pohon teh sejauh mata memandang. Hijau. Rindang. Berumpun-rumpun. Tak henti-hentinya saya mengisi paru-paru saya dengan udara segar yang menyehatkan dan menyegarkan. Pohon-pohon besar dan tinggi berdiri menjulang melingkupi jalanan kecil beraspal menuju ke tengah perkebunan tersebut. Bunga-bunga beraneka warna terangguk-angguk tertiup angin pagi. Dengan berlari-lari riang, kami bertiga menikmati pemandangan indah itu sambil berfoto-foto. Dan sebelum lebih jauh melangkah, saya sudah jatuh cinta pada tempat itu. Langkah kaki saya yang takkan pernah sama lagi.
Lalu kami tiba di sebuah hutan kecil yang rimbun oleh pohon-pohon teh dan pohon-pohon besar yang rindang. Di sana, di hutan kecil itu ada sebuah makam yang terawat dengan baik. Di makam itulah tempat peristirahatan terakhir Boscha yang dilengkapi dengan pagar dan pilar-pilar bergaya Eropa bercat putih yang dibangun di atas marmer putih dengan batu nisan di tengah-tengahnya. Tempat yang dulu sering digunakan Boscha untuk beristirahat setelah selesai bekerja dan berkeliling perkebunan dengan kuda. Tanah yang subur, hamparan pemandangan yang menghijau disertai dengan udara sejuk, di sinilah Boscha menanamkan cinta pada perkebunan dan hutan kecil tersebut. Cinta yang disiraminya dengan keteguhan dan kegigihan serta disiplin yang kemudian tumbuh, bertunas, dan berkembang. Cinta yang menjalar pada orang-orang di sekitarnya, hingga saya masih bisa merasakan cinta itu pada tutur kata penjaga makam yang pensiunan pegawai perkebunan dan tatapan hangat pembersih makam yang sudah tinggal beberapa generasi di tempat itu. Cinta pada hutan kecil itulah yang saya rasakan dan membuat saya memandang hormat serta kagum pada foto Boscha di atas nisan tersebut. Seorang yang membawa begitu banyak perubahan dan manfaat semasa hidupnya.
And The Life Goes On
Kurang satu kilometer dari makam itu, berdirilah kediaman Boscha yang dibangun di tengah hutan berpagar pohon-pohon besar dan diselimuti berbagai tumbuhan dan bunga-bunga yang terangguk-angguk ditiup angin pagi. Hingga kemudian awal tahun 2010 ini membekukan segala waktu dan seketika saya tiba-tiba berada pada seratus tahun yang lampau saat melihat rumah tersebut. Saya seakan bisa melihat Boscha menunggang kuda memasuki gerbang kediamannya, melintasi jalanan kecil menuju beranda. Saya bisa melihat ia turun dari kudanya sambil menggenggam tongkat hari Sabtunya (Boscha memiliki delapan buah tongkat yang dipakainya setiap hari sedangkan satu tongkat untuk cadangan) kemudian masuk ke dalam ruang tamu yang luas dengan piano di sudutnya. Perapian yang terbuat dari batu bata merah menghangatkan ruangan sementara dari arah belakang, harum masakan merebak di bagian dapur. Kemudian pada pukul setengah sebelas siang ia membunyikan sejenis kentongan dari besi dari lereng sebelah barat sebagai tanda istirahat bagi para pemetik teh dan kembali pulang menjelang senja.
Di rumah inilah Boscha melihat segalanya. Beratus tahun ke depan, ia melihat sebuah perkebunan teh yang menghijau di lereng Gunung Nini yang memberi makan banyak orang dan memakmurkan pemerintah daerah. Teh berkualitas tinggi yang kemudian diekspor ke Eropa dan berbagai negara, beserta penginapan untuk para penjelajah yang lahir beratus tahun kemudian seperti saya dan ketiga sahabat saya. Sehingga apapun yang ia kerjakan saat itu, ia meletakkan landasan bagi mimpi-mimpi yang dilihatnya.
“Boscha adalah seorang visioner,” begitu kata Mbak Wiwiek. Betapa kerja kerasnya dulu kini telah berbuah manis. Saya yakin, ia pasti akan tersenyum lebar saat ia melihat Malabar di tahun 2010 ini. Bahwa apa yang dilihatnya dulu kini menjelma nyata dan Boscha telah memberikan warisan itu bagi kehidupan-kehidupan kemudian yang bergulir di atas bumi Parahyangan. Warisan yang harus kita pelihara dan jaga bersama, mungkin untuk seratus tahun ke depan, saat anak cucu saya beserta anak cucu sahabat-sahabat saya datang kembali mengunjungi Malabar dan kemudian jatuh cinta pada tempat itu, sama halnya dengan apa yang terjadi pada Boscha dan saya, di waktu yang berbeda.
Pangalengan – Malabar, Bandung Selatan, Jan 1-2, 2010
Special thanks for Mbak Wiwiek & Mbak Fisra for such a great travelling & adventure….
******
Oleh Lia Octavia
Mungkin apa yang dirasakan Boscha lebih dari seratus tahun yang lalu kurang lebih sama dengan perasaan saya saat memandang hamparan hijau pegunungan dengan embun menetesi setiap helai daun yang bunga-bunganya tersenyum pada matahari dan puncak gunung berselimut kabut yang merangkul awan-awan putih yang kadangkala mengarak hujan. Menyemai setiap benih-benih kehidupan di lereng perkebunan Malabar yang terletak di Pangalengan, sebuah daerah yang terletak sekitar 45 kilometer selatan Bandung. Di atas ketinggian 1550 meter di atas permukaan laut itulah saya jatuh cinta pada alamnya, dimana lebih dari 120 tahun yang lalu Boscha membangun mimpi-mimpinya lalu mewujudkannya sebagai warisan kehidupan untuk generasi setelahnya. Warisan yang kini sedang saya nikmati bersama kedua sahabat saya, Mbak Wiwiek dan Mbak Fisra, dalam sebuah perjalanan petualangan awal tahun yang tidak terlupakan di Pangalengan, Bandung Selatan.
Tentang KAR Boscha
Terlahir dengan nama lengkap Karel Albert Rudolf Boscha di S’Gravenhage, Belanda pada tahun 1865, seorang insinyur yang kemudian datang ke Indonesia; Medan, Borneo, Sukabumi, dan kemudian Pangalengan pada tahun 1887. Di Pangalengan inilah Boscha membuka perkebunan teh yang dinamakan perkebunan teh Malabar pada tahun 1890 dimana Boscha kemudian menetap, pada sebuah rumah bercerobong asap yang terletak di antara hamparan pohon dan perkebunan teh, membelah udara dingin yang bersuhu rata-rata 16 derajat Celsius tersebut. Ia mempekerjakan penduduk pribumi sebagai pemetik teh di perkebunannya, juga membuat sistem irigasi hingga pabrik pengolahan teh yang masih beroperasi hingga sekarang. Boscha mempelajari teh di Sukabumi hingga kemudian menjabat sebagai manajer perkebunan teh Malabar hingga ia wafat pada tahun 1928. Ia juga membangun sekolah pada tahun 1913 di tengah perkebunan teh sebagai sarana pendidikan bagi putra putri karyawan perkebunan.
Boscha tidak hanya dikenal di dunia budidaya teh. Ia banyak menyumbangkan tenaga, pikiran, dan dana bagi kepentingan sosial dan pembangunan kota Bandung, seperti Observatorium Bintang Boscha di Lembang, Bala Keselamatan di Jl. Jawa, sekolah bagi penyandang tuna rungu dan tuna wicara, Telefoon Maatschappij voor Bandung en Preanger di Jl. Tegallega (kini PT INTI), kompleks Nederlands-Indische Jaarbeurs (Pekan Raya) yang kini menjadi kantor Kologdam, dan sebagai anggota dewan penyantun untuk Tehnische Hogerschool (kini ITB). Ia juga mendirikan institut kanker dan yang pertama memperkenalkan satuan hektar dan kilometer untuk menggantikan satuan tradisional pal dan bahu. Ia juga mendirikan pembangkit tenaga listrik di air terjun Cilaki yang hingga kini menjadi penyedia tenaga listrik bagi pabrik teh dan perumahan karyawan.
Cinta pada hutan kecil itu
Pagi itu, saya bersama Mbak Wiwiek dan Mbak Fisra langsung menuju perkebunan teh Malabar yang terletak kurang lebih lima belas menit perjalanan dengan mobil dari tempat penginapan kami di Pangalengan. Sisa hujan semalam masih menggenang di setiap lekuk jalan dan embun masih menetesi ujung sepatu converse biru saya. Pagi yang dingin, berkabut, dan menenangkan. Tidak ada yang mengalahkan kenyamanan menjejakkan kaki di tanah yang basah diiringi hembusan angin dan riuh pohon-pohon berderak di sepanjang jalan. Teh hangat dan nasi goreng yang baru saja saya nikmati di penginapan turut menghangatkan tubuh saya yang berselimut jaket dan berbalut pakaian serba biru; kaus katun biru tua dirangkap dengan kaus jumper biru muda dan jeans biru tua serta kerudung biru muda yang menutup kepala saya. Pagi yang membuat saya bernyanyi.
Kemudian kami tiba di sebuah tempat dengan papan besar bertuliskan “Perkebunan Teh Malabar” di pintu gerbangnya. Begitu kami memasuki pintu gerbang itu, saya langsung melihat hamparan pohon teh sejauh mata memandang. Hijau. Rindang. Berumpun-rumpun. Tak henti-hentinya saya mengisi paru-paru saya dengan udara segar yang menyehatkan dan menyegarkan. Pohon-pohon besar dan tinggi berdiri menjulang melingkupi jalanan kecil beraspal menuju ke tengah perkebunan tersebut. Bunga-bunga beraneka warna terangguk-angguk tertiup angin pagi. Dengan berlari-lari riang, kami bertiga menikmati pemandangan indah itu sambil berfoto-foto. Dan sebelum lebih jauh melangkah, saya sudah jatuh cinta pada tempat itu. Langkah kaki saya yang takkan pernah sama lagi.
Lalu kami tiba di sebuah hutan kecil yang rimbun oleh pohon-pohon teh dan pohon-pohon besar yang rindang. Di sana, di hutan kecil itu ada sebuah makam yang terawat dengan baik. Di makam itulah tempat peristirahatan terakhir Boscha yang dilengkapi dengan pagar dan pilar-pilar bergaya Eropa bercat putih yang dibangun di atas marmer putih dengan batu nisan di tengah-tengahnya. Tempat yang dulu sering digunakan Boscha untuk beristirahat setelah selesai bekerja dan berkeliling perkebunan dengan kuda. Tanah yang subur, hamparan pemandangan yang menghijau disertai dengan udara sejuk, di sinilah Boscha menanamkan cinta pada perkebunan dan hutan kecil tersebut. Cinta yang disiraminya dengan keteguhan dan kegigihan serta disiplin yang kemudian tumbuh, bertunas, dan berkembang. Cinta yang menjalar pada orang-orang di sekitarnya, hingga saya masih bisa merasakan cinta itu pada tutur kata penjaga makam yang pensiunan pegawai perkebunan dan tatapan hangat pembersih makam yang sudah tinggal beberapa generasi di tempat itu. Cinta pada hutan kecil itulah yang saya rasakan dan membuat saya memandang hormat serta kagum pada foto Boscha di atas nisan tersebut. Seorang yang membawa begitu banyak perubahan dan manfaat semasa hidupnya.
And The Life Goes On
Kurang satu kilometer dari makam itu, berdirilah kediaman Boscha yang dibangun di tengah hutan berpagar pohon-pohon besar dan diselimuti berbagai tumbuhan dan bunga-bunga yang terangguk-angguk ditiup angin pagi. Hingga kemudian awal tahun 2010 ini membekukan segala waktu dan seketika saya tiba-tiba berada pada seratus tahun yang lampau saat melihat rumah tersebut. Saya seakan bisa melihat Boscha menunggang kuda memasuki gerbang kediamannya, melintasi jalanan kecil menuju beranda. Saya bisa melihat ia turun dari kudanya sambil menggenggam tongkat hari Sabtunya (Boscha memiliki delapan buah tongkat yang dipakainya setiap hari sedangkan satu tongkat untuk cadangan) kemudian masuk ke dalam ruang tamu yang luas dengan piano di sudutnya. Perapian yang terbuat dari batu bata merah menghangatkan ruangan sementara dari arah belakang, harum masakan merebak di bagian dapur. Kemudian pada pukul setengah sebelas siang ia membunyikan sejenis kentongan dari besi dari lereng sebelah barat sebagai tanda istirahat bagi para pemetik teh dan kembali pulang menjelang senja.
Di rumah inilah Boscha melihat segalanya. Beratus tahun ke depan, ia melihat sebuah perkebunan teh yang menghijau di lereng Gunung Nini yang memberi makan banyak orang dan memakmurkan pemerintah daerah. Teh berkualitas tinggi yang kemudian diekspor ke Eropa dan berbagai negara, beserta penginapan untuk para penjelajah yang lahir beratus tahun kemudian seperti saya dan ketiga sahabat saya. Sehingga apapun yang ia kerjakan saat itu, ia meletakkan landasan bagi mimpi-mimpi yang dilihatnya.
“Boscha adalah seorang visioner,” begitu kata Mbak Wiwiek. Betapa kerja kerasnya dulu kini telah berbuah manis. Saya yakin, ia pasti akan tersenyum lebar saat ia melihat Malabar di tahun 2010 ini. Bahwa apa yang dilihatnya dulu kini menjelma nyata dan Boscha telah memberikan warisan itu bagi kehidupan-kehidupan kemudian yang bergulir di atas bumi Parahyangan. Warisan yang harus kita pelihara dan jaga bersama, mungkin untuk seratus tahun ke depan, saat anak cucu saya beserta anak cucu sahabat-sahabat saya datang kembali mengunjungi Malabar dan kemudian jatuh cinta pada tempat itu, sama halnya dengan apa yang terjadi pada Boscha dan saya, di waktu yang berbeda.
Pangalengan – Malabar, Bandung Selatan, Jan 1-2, 2010
Special thanks for Mbak Wiwiek & Mbak Fisra for such a great travelling & adventure….
******
Langganan:
Postingan (Atom)